Setelah Negara Kertagama, La Galigo, dan Babad Diponegoro resmi terdaftar di Memory of the World (MOW), rasanya sudah saatnya Babad Padjadjaran menyusul menjadi nominasi berikutnya. Bukan karena tuturut munding (ikut-ikutan) akan tetapi warisan budaya literatur asal Jawa Barat ini adalah kekayaan khazanah budaya nasional yang sangat pantas untuk diketahui warga dunia.
MOW adalah salah satu program dari UNESCO yang didirikan pada tahun 1992. Program ini bertujuan untuk melakukan preservasi warisan literasi dunia yang rusak akibat perang atau pergolakan sosial dan melindungi naskah dari pencurian atau penjarahan. Filosofi dari program ini adalah dokumen (warisan literasi) dunia merupakan milik semua dan harus dapat diakses oleh semua. MOW membantu akses universal ke documentary heritage dan juga turut meningkatkan kesadaran dunia tentang keberadaan dan signifikansi documentary heritage.
Ada beberapa hal yang melatari kepantasan Babad Padjadjaran menjadi MOW tersebut. Pertama, secara substantif Babad Padjadjaran bercerita tentang Kerajaan Padjadjaran yang merupakan kerajaan terbesar di Tatar Sunda. Kedua, Babad Padjadjaran memiliki naskah yang lengkap sehingga secara administratif akan memudahkan pendaftarannya menjadi MOW. Ketiga, ini adalah salah satu langkah strategis untuk ngamumule (revivalisasi dan revitalisasi) nilai-nilai luhur atau kearifan budaya Ki Sunda.
Upaya ngamumule sudah lama dilakukan oleh para inohong (tokoh) dengan berbagai pendekatan di antaranya: pertama, pendekatan institusional misalnya dengan didirikannya Puseur Budaya Sunda dan Pusat Studi Sunda. Kedua, pendekatan konsitutusional yaitu dengan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah tentang berpakaian adat Sunda di hari-hari tertentu atau acara-acara tertentu serta Bahasa Sunda dimasukkan kedalam kurikulum sekolah. Ketiga, pendekatan kultural yang dilakukan dengan cara mengadakan berbagai macam kegiatan misalnya, pasang giri, lomba membaca pupuh, dan lain-lain.
Gerakatan ngamumule melalui MOW adalah juga bisa menjadikan upaya untuk menghadang budaya bangsa deungeun (Barat dan Utara) yang telah lama meminggirkan bahkan mengubur sebagian budaya adiluhung Sunda sehingga jati diri bangsa juga ikut hancur (jati kasulih ku junti). Diam-diam banyak masyarakat yang merindukan untuk berjumpa kembali dengan kearifan lokal Ki Sunda. Sebagai contoh, anjuran dari pemerintah daerah untuk mengenakan pakaian khas Sunda (teruma totopong/iket dan pangsi) disambut antusias oleh masyarakat.
Padjadjaran Center
Tentu saja upaya ngamumule tidak hanya cukup dengan mendaftarkan menjadi MOW saja. UNESCO hanya memfasilitasi pelestarian saja sedangkan supaya babad ini memiliki nilai tambah, itu sangat tergantung kepada kita semua. Untuk itulah maka langkah berikutnya adalah bagaimana babad ini bisa dioptimalisasi atau dikapitalisasi sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua orang. Dalam hal ini penulis megusulkan didirikannya Padjadjaran Center (Puseur Padjadjaran).
Padjadjaran Center dibuat untuk tujuan merekonstruksi Kerajaan Padjadjaran terutama dalam perspektif literasi. Tentu saja alangkah akan lebih baik apabila bisa direkonstruksi secara arsitektural dalam bentuk maket atau diorama misalnya.
Ada beberapa keuntungan apabila pendirian Padjadjaran Center ini bisa terlaksana, di antaranya:
Pertama, Padjadjaran Center akan menjadi landmark baru Jawa Barat sehingga Jawa Barat akan semakin dikenal di tingkat nasional, regional, dan bahkan di mata dunia.
Kedua, Jawa Barat menjadi destinasi wisata literasi internasional, bukan hanya terkenal dengan keindahan alam dan kulinernya tetapi juga memiliki adikarya berupa documentary heritage. Para wisatawan dapat mengenal kearifan lokal Jawa Barat dari segi sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Ketiga, menjadi inspirasi budaya dan ekonomi kreatif sehinga akan menciptakan lapangan kerja baru terutama dalam sektor industri kreatif, jasa, dan hiburan. Misalnya, apabila Padjadjaran Center ini sudah menjadi destinasi wisata literasi maka semua yang bersangkutan dengan budaya Sunda dapat dikapitalisasi, mulai dari pembuatan merchandise, kuliner, fashion, kursus bahasa Sunda singkat untuk turis mancanegara, dan lain-lain sampai pementasan seni (termasuk drama dan film) kolosal yang bertemakan Kerajaan Padjadjaran.
Keempat, Jawa Barat, dalam hal ini Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (BAPUSIPDA) akan menjadi model untuk Indonesia bahkan untuk dunia bagaimana cara melakukan optimalisasi dan kapitalisasi literasi warisan budaya. Kelima, secara tidak langsung masyarakat disadarkan tentang pentingnya membaca dan arsip dalam kehidupan.
Tentu saja perlu dukungan dan urun rembuk dari banyak pihak untuk mewujudkan cita-cita di atas. Dukungan moral dari para inohong, dukungan konseptual dari para akademisi, dan dukungan finansial dari para pengusaha sukses dan pemerintah daerah. Juga yang paling penting adalah adanya political will dari Gubernur Provinsi Jawa Barat.
Secara teknis perlu beberapa langkah untuk memajukan Babad Padjadjaran menjadi MOW, namun sebelum langkah adminsitratif ditempuh yang sangat penting adalah diadakannya musyawarah dari para pemangku kepentingan (inohong, akademisi, pengusaha, dan pemerintah) untuk menguji kelayakan babad.
Babad Padjadjaran Menjadi Memory of the World ?