Persoalan dunia pendidikan negeri ini seolah-olah tak ada habisnya, dari hari ke hari malah semakin menjadi. Hal ini dapat kita lihat dari ujian nasional (UN), salah satu persoalan baru dalam dunia pendidikan, selain persoalan badan hukum milik negara dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Sebelum dan setelah penetapan UN sebagai salah satu syarat atau standar kelulusan, putusan ini kerap menuai protes dari masyarakat, baik siswa, guru, mahasiswa, dosen, praktisi pendidikan, maupun sekelompok masyarakat lain yang menyatakan diri peduli terhadap pendidikan. Mereka kerap melakukan aksi turun ke jalan dan berharap agar putusan menetapkan UN menjadi salah satu syarat kelulusan dicabut.
Mereka berpendapat bahwa mata pelajaran yang lain juga turut menjadi pertimbangan kelulusan. Dengan kata lain, syarat kelulusan diserahkan kembali pada sekolah, dalam hal ini guru. Sebab, guru atau wali kelas yang mengetahui perkembangan setiap siswa dari waktu ke waktu, apakah mereka paham dengan pelajaran dan layak diluluskan atau tidak.
Jika demikian, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, akankah UN tetap diselenggarakan pemerintah sebagai standardisasi atau salah satu syarat kelulusan dan diikutsertakan sebagai salah satu syarat bagi siswa untuk masuk ke perguruan tinggi?
Menyempurnakan pendidikan
Gonjang-ganjing UN adalah salah satu hukum mutlak sebab Sebab, pemerintah mengeluarkan kebijakan, dan akibatnya, masyarakat menanggapi kebijakan tersebut dengan berbagai cara, baik lisan, tulisan, maupun tindakan yang dapat mengekspresikan kekesalan; kekecewaan, dan yang paling penting keinginan untuk evaluasi serta perbaikan pendidikan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tentu hal tersebut sah-sah saja di-lakukan.
Bagi penulis, langkah yang di-tempuh pemerintah untuk menetapkan UN sebagai salah satu standar penilaian dan syarat kelulusan merupakan usaha untuk menyempurnakan pendidikan. Akan tetapi, cara tersebut kurang mendapatkan respons positif dari masyarakat karena dianggap memberatkan dan melemahkan mental siswa dan guru.
Ada tiga faktor yang sebaiknya diperhatikan pemerintah sebelum menetapkan suatu kebijakan agar masyarakat tidak selalu merasa menjadi obyek atau korban. Faktor yang pertama adalah membaca kondisi obyektif dan subjektif masyarakat Indonesia saat ini. Hal itu perlu agar pendidikan tidak kehilangan fitrahnya sebagai tempat untuk menempa mencerdaskan, mendewasakan, dan mendidik generasi penerus bangsa yang siap melakukan perubahan ke arah yang lebih baik serta siap membangun bangsa sebagai bangsa yang maju dan sejahtera.
Membaca kondisi obyektif adalah salah satu hal yang mutlak dalam perubahan. Sebab, kondisi obyektif inilah yang dapat mendukung, mendorong, atau menjadi salah satu syarat mutlak terjadinya perubahan. Kondisi obyektif meliputi fasilitas pendidikan, seperti bangunan sekolah, buku, perpustakaan, fasilitas komputer atau internet, dan guru yang berkualitas.
Jika kita lihat kondisi obyektif-nya saat ini, fasilitas tersebut belum merata dan masih berbeda-beda di setiap daerah. Sebagai pertimbangan, fasilitas pendidikan di Pulau Jawa, misalnya Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta, dan di Kalimantan sangat jauh berbeda.
Di Pulau Jawa, guru atau layanan komputer dan internet tidak menjadi persoalan utama. Adapun di Pulau Kalimantan, guru atau fasilitas gedung sekolah kurang memadai. Masih banyak daerah lain yang dapat kita jadikan contoh ataupun perbandingan akan ketidakmerataan fasilitas tersebut. Kondisi subjektif adalah mentalitas siswa, guru, dan masyarakat pendidikan untuk menerima dan menciptakan suatu perubahan dengan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.
Mencetak buruh
Faktor kedua, kurikulum pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan. Bagaimana dengan kurikulum pendidikan di negeri kita saat ini, apakah kurikulumnya sudah memanusiakan manusia (Poulo Freire) atau malah sebaliknya? Jika kita lihat kondisi kurikulum pendidikan kita saat ini, justru sebaliknya, hanya mencetak tenaga kerja murah (buruh) yang siap dipekerjakan dan dibayar murah di perusahaan asing.Hal tersebut tercermin dari proses belajar-mengajar yang lebih mengedepankan, nilai dan sedikit mempertimbangkan kemampuan-kemampuan yang lain.
Salah satu bukti konkretnya adalah UN sebagai salah satu syarat mutlak kelulusan siswa. Belum lagi ada guru atau dosen yang antikritik. Mereka masih memelihara paradigma bahwa guru atau dosen adalah tuhan yang selalu benar,- tidak dapat didebat ataupun dikoreksi demi kebaikan dan kebenaran untuk mencapai pendidikan yang ilmiah.
Dengan kata lain, keilmuannya da-pat dipertanggungjawabkan dan yang paling utama bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Faktor ketiga adalah kerja sama antara pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kebijakan atau undang-undang seyogianya merupakan alat bantu untuk memudahkan kita menjalankan pendidikan.
Sebelum menetapkan kebijakan atau mengesahkan undang-undang, pemerintah perlu memerhatikan dan mempertimbangkan faktor membaca kondisi obyektif dan subjektif masyarakat Indonesia serta memerhatikan kurikulum pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan bervisi kerakyatan. Kalau itu sudah dilakukan, niscaya masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama dengan baik dan benar dalam menciptakan pendidikan dan perubahan yang lebih baik untuk bangsa dan negara. Semoga.
FRANSEKODHANTO
image: https://www.padamu.net/sejarah-ujian-nasional-indonesia
Gonjang-ganjing Ujian Nasional (UN)